“Hendaklah kita berupaya untuk memanusiakan manusia agar manusia menjadi manusia yang manusiawi”Cukup dulu aku melow-melow marshmellownya ya. Sejak beberapa bulan yang lalu kebanyakan topik yang aku bahas nggak jauh-jauh dari persoalan hati. Cukup dulu bapernya karena baper atau apapun yang berlebihan nggak akan bisa dikatakan baik, meskipun nggak semua tulisan baper yang ku-posting bermuara dari kebaperan yang nyata. Yea.
Aku mau belajar menulis tentang
sesuatu yang lebih serius. Ehm, ya, serius. Kali ini tentang hakikat manusia
sebagai manusia. Tentang hal ini, ada kalimat dari Bapak Sulaiman, Ph.D yang
masih melekat kuat di kepalaku, yang intinya seperti ini:“Hendaklah kita berupaya untuk
memanusiakan manusia agar manusia menjadi manusia yang manusiawi”
So, sebelum kita koar-koar
meneriakkan agar kita memanusiakan manusia, hendaknya kita mengerti terlebih
dahulu tentang manusia itu sendiri. Hakikat manusia.
Kurang lebih tiga belas hari yang
lalu aku berpartisipasi dalam kegiatan pembekalan yang diselenggarakan oleh PKIMM UIN ANTASARI: Darul Arqam Dasar X. Dari kegiatan itu, materi pertama yang
disampaikan adalah tentang Konsep Manusia dalam Al Qur’an yang disampaikan oleh
Kakanda Faisal Fajar, dan materi itulah yang ingin aku share di sini.
Here you go! J
Dalam perspektif Al Qur’an,
secara umum manusia dibedakan menjadi dua golongan besar, yakni manusia sebagai
khalifah: pemimpin: yang berada pada
posisi yang tinggi dan manusia sebagai asfalasaafiliin:
yang berada pada posisi serendah-rendahnya. Dalam artian yang lebih spesifik,
manusia terbagi menjadi dua golongan besar yang mana salah satu dari mereka
adalah manusia-manusia yang tinggi derajatnya melebihi para malaikat, sementara
golongan yang satu menempati posisi yang rendah, lebih rendah dari binatang.
Selain itu, manusia sebagai
manusia juga kerap disebutkan dengan tiga kata yang berbeda di dalam Al Qur’an.
Al Basyar yang jika manusia
disebutkan menggunakan kata ini, maka ayat tersebut bercerita tentang manusia
dari sisi biologisnya. Al Insan yang
maknanya lebih mengarah kepada manusia dari sisi keistimewaannya, dalam artian manusia
yang lebih “spesial” daripada makhluk
lainnya: unik: memiliki kekhususan tersendiri, misalnya manusia s: unik:
memiliki kekhususan tersendiri, misalnya manusia yang memiliki sisi baik dan
sisi buruk, imannya yang bersifat fluktuatif melalui berbagai proses
pertumbuhan. Terakhir, An Nas yang
artinya ayat tersebut sedang berbicara tentang manusia sebagai makhluk sosial.
Nah, sampai di situ materi
tentang manusia yang disampaikan Kakanda Fajar. Dari materi tersebut,
dikombinasikan dengan beberapa input
yang sudah lebih dulu menempati suatu sudut sel di dalam kepalaku, kesimpulan
yang bisa aku tarik adalah hanya ada dua pilihan umum bagi seseorang. Memiliki
derajat yang tinggi melebihi malaikat, atau terjembab jatuh menjadi rendah
melebihi binatang. Serta dalam kehidupannya, manusia dihadapkan pada kodrat
yang telah melekat dalam dirinya sebagai makhluk yang memiliki sisi biologis,
“keistimewaan” , serta kebutuhannya akan orang lain yakni sebagai makhluk
sosial yang mana ketiganya harus diselaraskan juga diseimbangkan serta
disesuaikan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Clear, ya?
Sedikit tambahan, ketika kita
bermaksud memanusiakan manusia, maka terlebih dahulu jadilah manusia itu
sendiri. Mau mandiin orang tapi sendiri masih kotor. Berupaya memasangkan
pakaian untuk seseorang tapi sendiri masih telanjang. Kan nggak lucu :’)
Sumber gambar: tongkronganislami.net
Sumber gambar: tongkronganislami.net