Rabu, 12 April 2017

Hakikat Manusia


“Hendaklah kita berupaya untuk memanusiakan manusia agar manusia menjadi manusia yang manusiawi”
 Cukup dulu aku melow-melow marshmellownya ya. Sejak beberapa bulan yang lalu kebanyakan topik yang aku bahas nggak jauh-jauh dari persoalan hati. Cukup dulu bapernya karena baper atau apapun yang berlebihan nggak akan bisa dikatakan baik, meskipun nggak semua tulisan baper yang ku-posting bermuara dari kebaperan yang nyata. Yea.

Aku mau belajar menulis tentang sesuatu yang lebih serius. Ehm, ya, serius. Kali ini tentang hakikat manusia sebagai manusia. Tentang hal ini, ada kalimat dari Bapak Sulaiman, Ph.D yang masih melekat kuat di kepalaku, yang intinya seperti ini:“Hendaklah kita berupaya untuk memanusiakan manusia agar manusia menjadi manusia yang manusiawi” 

So, sebelum kita koar-koar meneriakkan agar kita memanusiakan manusia, hendaknya kita mengerti terlebih dahulu tentang manusia itu sendiri. Hakikat manusia.

Kurang lebih tiga belas hari yang lalu aku berpartisipasi dalam kegiatan pembekalan yang diselenggarakan oleh PKIMM UIN ANTASARI: Darul Arqam Dasar X. Dari kegiatan itu, materi pertama yang disampaikan adalah tentang Konsep Manusia dalam Al Qur’an yang disampaikan oleh Kakanda Faisal Fajar, dan materi itulah yang ingin aku share di sini.
Here you go! J

Dalam perspektif Al Qur’an, secara umum manusia dibedakan menjadi dua golongan besar, yakni manusia sebagai khalifah: pemimpin: yang berada pada posisi yang tinggi dan manusia sebagai asfalasaafiliin: yang berada pada posisi serendah-rendahnya. Dalam artian yang lebih spesifik, manusia terbagi menjadi dua golongan besar yang mana salah satu dari mereka adalah manusia-manusia yang tinggi derajatnya melebihi para malaikat, sementara golongan yang satu menempati posisi yang rendah, lebih rendah dari binatang.

Selain itu, manusia sebagai manusia juga kerap disebutkan dengan tiga kata yang berbeda di dalam Al Qur’an. Al Basyar yang jika manusia disebutkan menggunakan kata ini, maka ayat tersebut bercerita tentang manusia dari sisi biologisnya. Al Insan yang maknanya lebih mengarah kepada manusia dari sisi keistimewaannya, dalam artian manusia yang lebih “spesial” daripada makhluk lainnya: unik: memiliki kekhususan tersendiri, misalnya manusia s: unik: memiliki kekhususan tersendiri, misalnya manusia yang memiliki sisi baik dan sisi buruk, imannya yang bersifat fluktuatif melalui berbagai proses pertumbuhan. Terakhir, An Nas yang artinya ayat tersebut sedang berbicara tentang manusia sebagai makhluk sosial.

Nah, sampai di situ materi tentang manusia yang disampaikan Kakanda Fajar. Dari materi tersebut, dikombinasikan dengan beberapa input yang sudah lebih dulu menempati suatu sudut sel di dalam kepalaku, kesimpulan yang bisa aku tarik adalah hanya ada dua pilihan umum bagi seseorang. Memiliki derajat yang tinggi melebihi malaikat, atau terjembab jatuh menjadi rendah melebihi binatang. Serta dalam kehidupannya, manusia dihadapkan pada kodrat yang telah melekat dalam dirinya sebagai makhluk yang memiliki sisi biologis, “keistimewaan” , serta kebutuhannya akan orang lain yakni sebagai makhluk sosial yang mana ketiganya harus diselaraskan juga diseimbangkan serta disesuaikan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Clear, ya?

Sedikit tambahan, ketika kita bermaksud memanusiakan manusia, maka terlebih dahulu jadilah manusia itu sendiri. Mau mandiin orang tapi sendiri masih kotor. Berupaya memasangkan pakaian untuk seseorang tapi sendiri masih telanjang. Kan nggak lucu :’)


Sumber gambar: tongkronganislami.net 
Share: