Ada sebuah kutipan menarik dalam buku Tere Liye yang berjudul #AboutLove,
“Kau tahu, hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus engkau melepaskannya. Percayalah, jika memang itu cinta sejatimu, tidak peduli aral melintang, ia akan kembali sendiri padamu. Banyak sekali pecinta di dunia ini yang melupakan kebijaksanaan sesederhana itu. Malah sebaliknya, berbual bilang cinta, namun dia menggenggamnya erat-erat.”
Kutipan ini mengingatkan saya pada sebuah pelajaran berharga yang saya serap dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan anaknya Isma’il a.s. dan kisah Nabi Ya’qub a.s. dengan anaknya Yusuf a.s.
Masyhur kita ketahui tentang kisah Nabi Yusuf a.s. yang ditakdirkan Allah untuk membina Negeri Mesir menuju ajaran Tauhid. Sebab itu Nabi Yusuf a.s. dipisahkan dari ayahnya dengan cara yang menyakitkan dalam waktu yang sangat panjang. Allah adakan sebab-sebab yang memisahkan beliau dengan ayahnya selama puluhan tahun. Tidak berhenti sampai di sana, puluhan tahun setelah ‘hilangnya’ Nabi Yusuf a.s., Nabi Ya’qub a.s. kembali menerima ujian dari Allah dengan tertahannya Benyamin di Mesir saat mengambil gandum pada masa paceklik. Hari-hari dilalui oleh Nabi Ya’qub a.s. dengan tangisan kerinduan pada dua putranya yang menyayat hati, bahkan hingga membutakan kedua matanya.
Hingga pada suatu waktu, Nabi Ya’qub a.s. menyadari akan bagaimana semestinya cinta. Beliau menyadari tentang Allah yang Mahapencemburu, bahwa tidak boleh ada cinta yang melebihi cinta kepada-Nya. Maka ketika Nabi Ya’qub ikhlas melepas, Allah hadiahkan pertemuan kembali dengan putra-putra tercintanya.
Hal serupa dialami oleh Nabi Ibrahim, ketika sampai wahyu kepada beliau untuk menyembelih putra yang dinanti-nantikannya selama bertahun-tahun. Singkat cerita, setelah berdiskusi dengan Nabi Isma’il, Nabi Ibrahim berikut Nabi Isma’il bersama-sama ikhlas untuk menjalankan perintah Allah tersebut.
Keikhlasan berbuah kebahagiaan, ketika Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il telah rida untuk menjalankan perintah Allah tersebut, Allah ganti perintah tersebut dengan penyembelihan hewan qurban. Allah kembalikan Isma’il kepada Ibrahim a.s.
Demikianlah semestinya al-hubb, yang hanya bermuara pada cinta kepada Allah. Jikapun ada cinta yang lain, maka semestinya ia hanyalah manifestasi dari cinta kepada-Nya. Ketika segala sesuatu telah disandarkan hanya kepada Allah, diniatkan ikhlas hanya karena Allah, maka tidak akan ada yang akan didapatkan kecuali kebaikan.