Jumat, 30 Desember 2016

Duka Middle Test






Menjelang final test. Aku teringat satu percakapan super singkat dengan salah satu dosenku. Pengampu mata kuliah Akuntansi Keuangan Menengah I (Akmen 1). Percakapan itu terjadi sesaat setelah aku menyelesaikan, atau lebih tepatnya menyerah dengan susunan kata yang membentuk kalimat berupa soal-soal yang tak sempat kupelajari.




Aku baru belajar kurang dari satu jam sebelum waktu middle test mata kuliah Akmen 1 dimulai. Beberapa bab aku rangkum dalam beberapa menit. Gila. Namanya akuntansi tentu bukan sekedar membahas teori. Ada hitungan-hitungan untuk pembukuan yang juga harus dipelajari. Aku agak pesimis aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Tetapi tentu aku masih sangat bisa berharap. Semoga soal-soal yang keluar nanti sudah kubaca semua. Dan ekspektasiku bentuk soal ini pilihan ganda. Sebab di mata kuliah yang juga diampu oleh salahsatu dosen favoritku ini beberapa hari sebelum middle test Akmen 1, yakni Bank dan Lembaga Keuangan Non-Bank, bentuk soalnya pilihan ganda. 


Haha. Nihil. Bahkan tidak satupun dari materi yang sempat kubaca ada di soal-soal itu. Salahku memang. Dan kabar yang tak kalah heboh bagi otakku adalah bentuk soalnya esai.


Well. Tidak ada pilihan lain untukku. Membaca materi kembali jelas tidak akan diizinkan. Pura-pura sakit untuk meninggalkan kelas dan meminta ujian susulan juga tidak memungkinkan. Membuka materi atau browsing diam-diam? Oh, never. Sekalipun peluang untukku melakukannya sangat besar dan aman, I’ll never do that, I promise. Aku sudah bertahan untuk tidak melakukan kecurangan dalam bentuk apapun sejak semester dua kelas satu SMA. Tidak menyontek dan tidak membuka materi kecuali diizinkan oleh yang berwenang. Kenapa? Oh, perlukah itu ditanyakan? Hmm, aku jadi teringat dengan jawaban simpel salahsatu following-ku di ask.fm.




Sambil menjawab soal, sesekali aku memperhatikan sekitar. Beberapa temanku begitu tenang menulis di lembar jawabnya masing-masing. Memang sebagian dari teman-temanku kemungkinan besar sudah belajar setidaknya satu malam sebelum H. Bahkan kurasa ada beberapa yang sudah mulai belajar beberapa hari sebelum hari itu tiba—baarakallah fiikum. Meski aku juga yakin, bukan cuma aku yang baru belajar pagi itu juga. Bahkan nampaknya ada yang tidak belajar sama sekali. Bukan pasrah. Justru sepertinya mereka berharap lebih banyak daripada aku. Bukan atas soal-soal, tetapi lebih kepada gadget dan kerpean yang sudah mereka siapkan, juga kepada orang-orang yang ada di sekitar tempat duduk mereka—meskipun bisa saja ada segelintir dari mereka yang tidak mengulang pelajaran sama sekali karena mereka memang pintar dan memperhatikan saat meteri dijelaskan. Aku ingat sewaktu middle test mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya beberapa hari yang lalu. Seperti biasa, aku yang selalu memilih duduk di depan saat ujian mendapati smartphone di dalam tempat alat tulis tetanggaku—seseorang yang duduk tepat di sebelahku sekaligus di depan meja dosen pengawas. Sebelumnya beliau ini memelas minta bertukar tempat duduk. Tentu saja aku menolak. Rupanya dia salah satu mahasiswi yang berharap banyak pada gadget.

Terlihat jelas olehku, ketika dosen pengawas—yang tak lain juga dosen pengampu mata kuliah Akmen 1 sedang lengah, mereka setengah gelisah berusaha melancarkan aksinya. Tiba-tiba leher mereka memanjang. Mata mereka membesar. Entah berapa megapiksel tingkat fokus lensa mata mereka yang mulai melirik ke kanan dan ke kiri itu. Tangan-tangan mereka menghilang, bersembunyi di balik saku atau tempat alat tulis yang berada tepat di depan mereka. Ada yang mereka coba lihat. Uhuy. Padahal ancaman dosen yang satu ini cukup mengerikan. Jika ketahuan melakukan kecurangan ancamannya tidak akan diluluskan. Mengulang tahun depan? Ish. Aku sih males.
Sayangnya aku hanya menyaksikan, tidak melakukan tindakan.                                               
Fuh.

Sampai aku bosan berada di kelas. Miris melihat pemandangan yang tidak mengenakkan. Aku memercepat pergerakan penaku. Memaksa otakku rileks dan menggali kemungkinan-kemungkinan jawaban dengan lebih cepat. Aku menuliskan apa saja yang kira-kira nyambung yang terlintas di kepalaku—meskipun tetap nggak nyambung. Sampai pada beberapa soal yang sudah kubaca berkali-kali tetapi otakku buntu, tidak menemukan apapun yang bisa ditulis untuk beberapa soal itu. Aku tetap isi seadanya. Ngaco sekali. Biarlah, daripada kosong. Ini soal esai. Barangkali ada satu dua poin yang bisa kudapatkan dari jawaban ngaco itu. Itu akan sangat membantu.

Selesai. Aku sudah menyelesaikan, atau lebih tepatnya menyerah dengan susunan kata yang membentuk kalimat berupa soal-soal yang tak sempat kupelajari dan mulai merapikan alat-alat tulisku dengan tenang. Ya, aku berusaha rileks ketika menjawab. Sebab aku tahu keadaan gugup dan tegang akan semakin memperkeruh lembar jawabku.

Aku melangkah menuju meja pengawas yang jaraknya kurang dari satu langkah dari kursiku. Salah satu dosen favoritku itu sudah ada di sana. Aku menyerahkan lembar jawab. Beliau tersenyum. Ah, semyum itu membuatku semakin merasa bersalah karena tidak sungguh-sungguh memeperhatikan saat materi disampaikan plus tidak mengulang pelajaran.


“Sudah, Nak?”
“Iya, Pak. Sudah. . . . . .
 .
 .
 .
 .
 .
 .
 .
Sudah tidak bisa menjawab lagi” 

Aku segera pamit dan melangkah keluar. Khawatir beliau langsung membaca lembar jawabku.
Sebelumnya aku sempat diam sejenak di kursiku. Menimbang-nimbang apakah ketika aku  mengumpulkan, beliau akan langsung membacanya atau tidak. Aku malu dengan jawaban-jawaban ngaco.

Aku tidak siap melihat beliau tertawa demi melihat susunan kalimat yang kutulis. Menertawakanku. Syukurnya itu tidak terjadi. Beliau hanya meletakkan lembar itu di meja dan kembali sibuk dengan laptopnya. Aku sedikit lega, setidaknya aku tidak ditertawakan saat itu. 

Tepat satu pekan setelahnya hasil ujian dibagikan. Wow. Ini salah satu yang aku suka dari dosen yang satu ini. Manajemen waktunya mengagumkan. Well, aku sungguh tidak terkejut dengan hasil yang kudapat. 50. Bahkan aku mengira aku akan mendapat di bawah 40. Aku malah dikejutkan oleh nilai teman-temanku yang kukira akan jauh lebih bagus justru tidak jauh berbeda dari yang kupunya. Aku tergelitik dan kembali teringat tentang pesan yang disampaikan salahsatu Bapak Guru di SMA-ku dulu.

“Yang namanya ulangan atau ujian ya untuk menguji kemampuan kita. Trainingnya ya setiap hari kita belajar di kelas itu. Cukup buat kita untuk benar-benar memperhatikan saat meteri dijelaskan, dan sedikit mengulang jika ada yang terlupakan. Soal-soal ujian tidak akan terlalu sulit untuk ditaklukkan. Kalau menjelang ujian kita justru mengulang semua pelajaran dari awal sampai akhir secara rinci, memangnya sempat? Dan itu otak, apa muat menampung semuanya sekaligus? Itu di kelas kemarin-kemarin ngapain aja?”



Sekian.
____________________________________

Ada pelajaran yang bisa diambil?
Semoga, ya.
Share: