Sabtu, 10 Februari 2018

Idealisme yang Terkikis Masa


Sekolah baru saja selesai. Semua kenangan-kenangan yang manis terbayang kembali.
Dan aku sadar bahwa semuanya akan, dan harus berlalu.
Ada perasaan sayang untuk kenangan-kenangan tadi.
Aku seolah-olah takut menghadap ke muka, dan berhadapan dengan masa kini
dan masa lampau terasa nikmatnya.
-Soe Hok Gie, Film: Gie (2005)

Sekolahku sudah selesai sejak dua tahun yang lalu, dan semua kenangan-kenangan terbayang kembali, tetap sama.  Tentu, sebab memang tak ada yang dapat merubah masa lalu. Aku sadar bahwa semuanya akan dan telah berlalu. Ada perasaan rindu untuk kenangan-kenangan dulu. Tetapi, takutku ini baru saja benar-benar terasa. Aku solah-olah takut menghadap ke muka untuk meneruskan langkah, berhadapan dengan masa kini.  Lebih-lebih membayangkan masa depan.

Ketakutan tentang idealisme yang tergerus zaman. Apabila suatu waktu kepal tangan nan kokoh menggenggam prinsip, goyah oleh ujian berupa-rupa. Kemudian yang tersisa hanyalah nista.

Ketakutan tentang teguhnya hati yang terkikis janji-janji manis. Apabila suatu waktu gigitan geraham yang bersikukuh mempertahankan iman, goyah oleh manusia-manusia berjiwa setan. Kemudian yang tersisa hanyalah penyesalan.

Sebentuk ketakutan, tentang girah yang padam oleh hembusan angin malam. Apabila suatu waktu godaan datang dengan berbagai ragam. Kemudian yang terpampang hanya masa-masa yang kelam, memandang ke depan pun terasa suram.

Ketika tiba suatu masa yang katanya godaan kian kuat menggoda. Jika bersikeras mempertahankan pun tidak akan banyak menghasilkan, justru semakin menekan.
Katanya, sudah banyak saksi hidupnya. Katanya, idealisme hanya milik mahasiswa. Dan katanya, mahasiswa adalah gelar yang terikat dengan masa, di mana artinya mahasiswa akan berlalu, beranjak dewasa, meneruskan hidup di dunia kerja dan semisalnya, dan tentu saja, meninggalkan segala kemahasiswaannya.

Katanya lihat saja, ketika saatnya tiba nanti, idealisme yang bertahun-tahun dijaga oleh mahasiswa dan pemuda sebayanya serta representasi dari idealisme yang diteriakkan di mana-mana, akan luruh mengiringi berakhirnya status sebagai mahasiswa, mengkhianati harumnya girah para pemuda. Katanya...

Tetapi, benarkah itu semua?

Kenyataannya, nampak kulihat begitu banyak mantan mahasiswa yang semakin hari semakin kokoh prinsipnya. Meskipun yang sebaliknya tak kalah banyaknya—bahkan sepertinya memang lebih banyak.

Juga idealisme yang masih saja tertanam kuat dalam diri mereka. Tetap tertantang dengan penuh keberanian untuk menyuarakan dan hanya melakukan kebenaran dan bukan pembenaran. Meskipun yang sebaliknya juga tak kalah banyaknya—bahkan sepertinya juga memang lebih banyak.

Dan akhirnya, kukira kebobrokan yang ada bukan sepenuhnya terjadi oleh mereka yang memang memiliki idealisme sejak masa mahasiswa—atau sebaya mahasiswa, melainkan karena memang itu tabiatnya sejak lama. Agaknya, sikap idealis tak pernah ada dalam dirinya bahkan ketika ia masih berstatus sebagai mahasiswa.

Jalan yang mereka tapaki mungkin sama, orasi yang mereka lantunkan mungkin terdengar serupa, output yang mereka tunjukkan juga memanglah sama, namun sepertinya, di dalam mereka punya tujuan berbeda. Antara kebenaran dan keadilan yang hakiki, atau eksistensi diri.

Koruptor, agaknya mereka sudah terbiasa korup sejak di bangku kuliah bahkan sekolah, dengan berbagai bentuknya. Sedang inisiator, sepertinya mereka sudah terbiasa menginisiasi hal-hal positif, jauh sebelum mereka tiba di masa ini.

Hanya saja, mungkin memang ada sebagian dari mereka yang idealis ketika muda, tergiur, tertekan, atau merasa terpaksa untuk meluruhan idealisme yang selama ini ditanamkan sebagai prinsip yang harus dipertahankan. Ketika dihadapkan dengan ujian berupa kenikmatan yang begitu menggiurkan, atau ujian berupa kesempitan yang sangat menyesakkan. Dilema, meskipun sebenarnya agak aneh terdengar bagi mereka yang masih bersedia untuk waras dan bijaksana. Sebab apapun alasannya, menanggalkan prinsip untuk terus berada dalam jalan kebaikan tidaklah dapat dibenarkan.

Hanya sebagian, memang. Dan inilah yang sedang kutakutkan. Ada rasa pesimis yang dibenar-benarkan dengan mengatakannya sebagai usaha untuk realistis. Ada rasa gamang, untuk kemudian dibenar-benarkan dengan mengatakan bahwa diri sedang menimbang-nimbang. Tidak. Karena sesungguhnya kebenaran itu jelas dan keburukan juga jelas. Jikapun berada di antara keduanya, maka yang lebih aman adalah teliti dalam mengambil resiko yang lebih berhati-hati, bukan yang sekedar memuaskan kehendak diri.

Menuju, berjalan, dan bertahan pada jalan kebaikan harus selamanya dilakukan sampai katika kaki tak lagi mampu dilangkahkan. Teknisnya bolehlah berbeda, silakan berkendara, berjalan ria, berlari cepat, bahkan merangkak. Asal bukan berbelok pun berbalik arah.

Tetapi, itu adalah isi kepala mereka yang masih berkenan untuk berpikiran jernih. Sedang mereka yang sudah terhambat untuk berpikir lebih bersih, dan kesulitan untuk memilih antara maksiat atau taat, terlebih ketika itikad telah terkontaminasi niat jahat... demikianlah.

***

Hari ini, aku melihat berbagai jenis orang dengan masing-masing pilihan hidupnya. Ada yang berjalan beriringan menuju satu tujuan. Ada yang tetap satu tujuan namun jalan yang ditempuh berseberangan. Ada yang berbeda tujuan namun berada pada jalan yang sama. Dan ada yang saling berbeda tujuan pun berbeda jalan.

Masing-masing hanya punya dua pilihan arah, dan masing-masing telah menentukan arahnya. Yang satu menuju hidup yang tentram, sedang yang lain beresiko karam.

Maka, di atas segala ketakutan yang tetap—dan rasanya memang perlu—ada, aku hanya berharap dan berusaha untuk terus mengingat, bahwa aku tidak ingin menjadi mereka yang karam ditelan masa. Tidak mudah bagiku untuk memutuskan berlabuh, maka tidak sepantasnya aku pasrah menghentikan pelayaran, apalagi rela tenggelam tanpa tanda perjuangan.


Share: