Sekolah
baru saja selesai. Semua kenangan-kenangan yang manis terbayang kembali.
Dan
aku sadar bahwa semuanya akan, dan harus berlalu.
Ada
perasaan sayang untuk kenangan-kenangan tadi.
Aku
seolah-olah takut menghadap ke muka, dan berhadapan dengan masa kini
dan
masa lampau terasa nikmatnya.
Sekolahku
sudah selesai sejak dua tahun yang lalu, dan semua kenangan-kenangan terbayang
kembali, tetap sama. Tentu, sebab memang
tak ada yang dapat merubah masa lalu. Aku sadar bahwa semuanya akan dan telah
berlalu. Ada perasaan rindu untuk kenangan-kenangan dulu. Tetapi, takutku ini
baru saja benar-benar terasa. Aku solah-olah takut menghadap ke muka
untuk meneruskan langkah, berhadapan dengan masa kini. Lebih-lebih membayangkan masa depan.
Ketakutan tentang idealisme yang
tergerus zaman. Apabila suatu waktu kepal tangan nan kokoh menggenggam prinsip,
goyah oleh ujian berupa-rupa. Kemudian yang tersisa hanyalah nista.
Ketakutan tentang teguhnya hati
yang terkikis janji-janji manis. Apabila suatu waktu gigitan geraham yang bersikukuh
mempertahankan iman, goyah oleh manusia-manusia berjiwa setan. Kemudian yang
tersisa hanyalah penyesalan.
Sebentuk ketakutan, tentang girah
yang padam oleh hembusan angin malam. Apabila suatu waktu godaan datang dengan
berbagai ragam. Kemudian yang terpampang hanya masa-masa yang kelam, memandang
ke depan pun terasa suram.
Ketika tiba suatu masa yang katanya
godaan kian kuat menggoda. Jika bersikeras mempertahankan pun tidak akan banyak
menghasilkan, justru semakin menekan.
Katanya, sudah banyak saksi
hidupnya. Katanya, idealisme hanya milik mahasiswa. Dan katanya, mahasiswa
adalah gelar yang terikat dengan masa, di mana artinya mahasiswa akan berlalu,
beranjak dewasa, meneruskan hidup di dunia kerja dan semisalnya, dan tentu
saja, meninggalkan segala kemahasiswaannya.
Katanya lihat saja, ketika
saatnya tiba nanti, idealisme yang bertahun-tahun dijaga oleh mahasiswa dan
pemuda sebayanya serta representasi dari idealisme yang diteriakkan di
mana-mana, akan luruh mengiringi berakhirnya status sebagai mahasiswa,
mengkhianati harumnya girah para pemuda. Katanya...
Tetapi, benarkah itu semua?
Kenyataannya, nampak kulihat begitu
banyak mantan mahasiswa yang semakin hari semakin kokoh prinsipnya.
Meskipun yang sebaliknya tak kalah banyaknya—bahkan sepertinya memang lebih
banyak.
Juga idealisme yang masih saja
tertanam kuat dalam diri mereka. Tetap tertantang dengan penuh keberanian untuk
menyuarakan dan hanya melakukan kebenaran dan bukan pembenaran. Meskipun yang
sebaliknya juga tak kalah banyaknya—bahkan sepertinya juga memang lebih banyak.
Dan akhirnya, kukira kebobrokan
yang ada bukan sepenuhnya terjadi oleh mereka yang memang memiliki idealisme
sejak masa mahasiswa—atau sebaya mahasiswa, melainkan karena memang itu
tabiatnya sejak lama. Agaknya, sikap idealis tak pernah ada dalam dirinya
bahkan ketika ia masih berstatus sebagai mahasiswa.
Jalan yang mereka tapaki mungkin
sama, orasi yang mereka lantunkan mungkin terdengar serupa, output yang
mereka tunjukkan juga memanglah sama, namun sepertinya, di dalam mereka punya
tujuan berbeda. Antara kebenaran dan keadilan yang hakiki, atau eksistensi
diri.
Koruptor, agaknya mereka sudah
terbiasa korup sejak di bangku kuliah bahkan sekolah, dengan berbagai
bentuknya. Sedang inisiator, sepertinya mereka sudah terbiasa menginisiasi
hal-hal positif, jauh sebelum mereka tiba di masa ini.
Hanya saja, mungkin memang ada sebagian
dari mereka yang idealis ketika muda, tergiur, tertekan, atau merasa terpaksa
untuk meluruhan idealisme yang selama ini ditanamkan sebagai prinsip yang harus
dipertahankan. Ketika dihadapkan dengan ujian berupa kenikmatan yang begitu
menggiurkan, atau ujian berupa kesempitan yang sangat menyesakkan. Dilema,
meskipun sebenarnya agak aneh terdengar bagi mereka yang masih bersedia untuk
waras dan bijaksana. Sebab apapun alasannya, menanggalkan prinsip untuk terus
berada dalam jalan kebaikan tidaklah dapat dibenarkan.
Hanya sebagian, memang. Dan
inilah yang sedang kutakutkan. Ada rasa pesimis yang dibenar-benarkan dengan
mengatakannya sebagai usaha untuk realistis. Ada rasa gamang, untuk kemudian
dibenar-benarkan dengan mengatakan bahwa diri sedang menimbang-nimbang. Tidak.
Karena sesungguhnya kebenaran itu jelas dan keburukan juga jelas. Jikapun
berada di antara keduanya, maka yang lebih aman adalah teliti dalam mengambil
resiko yang lebih berhati-hati, bukan yang sekedar memuaskan kehendak
diri.
Menuju, berjalan, dan bertahan
pada jalan kebaikan harus selamanya dilakukan sampai katika kaki tak lagi mampu
dilangkahkan. Teknisnya bolehlah berbeda, silakan berkendara, berjalan ria,
berlari cepat, bahkan merangkak. Asal bukan berbelok pun berbalik arah.
Tetapi, itu adalah isi kepala
mereka yang masih berkenan untuk berpikiran jernih. Sedang mereka yang sudah
terhambat untuk berpikir lebih bersih, dan kesulitan untuk memilih antara
maksiat atau taat, terlebih ketika itikad telah terkontaminasi niat jahat...
demikianlah.
***
Hari ini, aku melihat berbagai
jenis orang dengan masing-masing pilihan hidupnya. Ada yang berjalan beriringan
menuju satu tujuan. Ada yang tetap satu tujuan namun jalan yang ditempuh berseberangan.
Ada yang berbeda tujuan namun berada pada jalan yang sama. Dan ada yang saling
berbeda tujuan pun berbeda jalan.
Masing-masing hanya punya dua
pilihan arah, dan masing-masing telah menentukan arahnya. Yang satu menuju
hidup yang tentram, sedang yang lain beresiko karam.
Maka, di atas segala ketakutan
yang tetap—dan rasanya memang perlu—ada, aku hanya berharap dan berusaha untuk
terus mengingat, bahwa aku tidak ingin menjadi mereka yang karam ditelan masa.
Tidak mudah bagiku untuk memutuskan berlabuh, maka tidak sepantasnya aku pasrah
menghentikan pelayaran, apalagi rela tenggelam tanpa tanda perjuangan.