Rabu, 05 September 2018

Akademis atau Organisatoris? #1

Berangkat dari begitu banyak terdengar statement tentang banyaknya sarjana, magister, doktor yang 'gagal' dalam lingkungan sosial. Katanya hanya segelintir dari mereka yang benar-benar mengaplikasikan, benar-benar 'bergerak' dengan apa yang ada di dalam kepalanya, pada essay-essay, jurnal-jurnal, karya tulis, skripsi, tesis, dan disertasi mereka. Katanya kebanyakan dari mereka lebih mementingkan diri sendiri dan mengesampingkan kepentingan bersama. Katanya mereka apatis.

Sepintas, jika melihat kepada dunia nyata, pada lingkup tertentu, opini ini dapat disetujui. Kita boleh menganggukkan kepala ketika pendapat ini dilontarkan untuk beberapa kasus tertentu. Tetapi kadang--bahkan seringkali, terhadap orang-orang tertentu, statement ini melahirkan pemikiran/pemahaman yang kurang lebihnya seperti ini,

"aih, nggak usahlah terlalu mementingkan kuliah"
"e, santai-santai ajalah kuliahnya kalo gitu sih"
"aih, organisasi mah lebih penting dari pada kuliah. Banyak pelajaran kehidupan yang akan lebih dibutuhkan"

Dan berbagai "aih-aih" lainnya dengan makna serupa.

Sampai di sini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah "Apakah statement semacam itu wajar diungkapkan secara bebas dalam suatu penyampaian materi atau diskusi terbuka?"

***

Pertama kali mendengar kisah perbandingan antara seseorang yang karir akademiknya bagus tetapi gagal dalam kehidupan sosial dan seseorang yang karir akademiknya kurang bersahabat tetapi sangat sukses dalam kehidupan sosial, saya mengangguk kencang. Setuju dengan opini yang disampaikan speaker yang intinya karir akademik bukan patokan kesuksesan.

Sampai hari ini saya masih menyetujui opini tersebut. Hanya saja, entah memang demikian adanya atau hanya saya yang merasa, opini ini berkembang menuju makna yang mulai mengandung energi negatif. Atau lebih tepatnya, semakin ke sini semakin banyak variasi opini ini terdengar oleh saya dalam berbagai pertemuan. Tidak ada yang salah dengan pernyataan bahwa gelar: karir akademik, bukanlah patokan kesuksesan. Gelar tidak menjadi satu-satunya jaminan akan keberhasilan hidup seseorang.
Tetapi, adanya pengakuan akan kebenaran pernyataan itu, tentu bukan berarti kita santai dalam menempuh perjalanan menuju kelulusan dari bangku perkuliahan. Apalagi sampai mengabaikannya. Menganggap perkuliahan tidak lebih penting daripada perorganisasian. Alih-alih menguntungkan, yang seperti ini justru akan merugikan. Rugi materi karna se-gratis apapun kuliah tetap tidak gratis. Rugi waktu dan ini sudah sangat jelas. Rugi nilai karna keterperosokan seorang aktivis di perkuliahan akan menurunkan nilai dirinya. Bahkan kadang, tidak hanya akibat pribadi.  Prilaku seperti itu juga bisa berimbas pada penurunan harga organisasi yang diikuti dalam pandangan sebagian orang yang subjektif. Memang kadang mereka yang keliru sebab melakukan penilaian secara subjektif, tetapi mereka bukan pelaku kesalahan tunggal. Justru si aktivis ini tadi yang lebih berperan, kan?

***

Meski begitu, dengan kerelaan sepenuh hati, saya memang setuju tentang kebermanfaatan besar yang akan didulang oleh masyarakat secara umum dan mahasiswa secara khusus dari dan hanya di organisasi, selama dari organisasi tersebut kita terlibat dalam setidaknya satu dari dua hal dan tidak terlibat setidaknya pada satu dari dua hal.

Dua hal yang pertama adalah mendapat manfaat dan memberikan manfaat.
Dua hal yang kedua adalah merugi dan merugikan.

Yep, thats it.

***

Pada dasarnya kuliah dan berorganisasi adalah dua hal yang sama baiknya. Selanjutnya tergantung pada tindak lanjut dari sang aktor dalam memainkan perannya.

Memang tidak sedikit sarjana yang pengalaman kuliahnya tidak membawanya pada suatu kebanggaan yang berarti bagi manusia kebanyakan. Memang ada dari kaum berdasi yang sibuk dengan diri sendiri dan melupakan orang-orang di samping kanan dan kiri. Memang, ada orang-orang apatis yang berasal dari kelompok yang katanya akademisi.

Tetapi, apakah orang-orang ini menjadi mayoritas jika dibandingkan dengan seluruh akadimisi yang ada, sehingga kita berhak menggeneralisir mereka semua dalam satu kesimpulan?

Lagi, sebenarnya hal serupa juga terjadi dalam lingkungan organisasi.
Ada dari aktivis yang semangat berorganisasi tidak membawanya pada kesuksesan.
Ada dari aktivis yang aktif berorganisasi tetapi dalam kehidupan sosial masih kesulitan beradaptasi.
Ada dari aktivis yang menghadiri berbagai diskusi tetapi masih gagu dalam menyampaikan opini.
Ada dari aktivis yang karena organisasi hidupnya berakhir dengan tragis.

...?

Maka, pada intinya semua kembali kepada cara sang individu dalam mengambil sikap. Tidak sedikit akademisi yang berkiprah membangun dan mengharumkan nama bangsa. Bahkan, banyak orang-orang hebat terlahir dari didikan sang akademisi. Mengukir sejarah dengan berbagai karyanya.
Juga sangat banyak orang-orang terlahir dan besar dari organisasi. Memperjuangkan apa-apa yang harus diperjuangkan. Membela siapa saja yang semestinya dibela. Mengukir sejarah dengan berbagai pergerakannya.

***

Mahasiswa, akademisi dan sangat identik dengan pergerakan. Pergerakan, tidak jauh-jauh dari arahan berbagai perkumpulan.

Mahasiswa yang berorganisasi berarti siap menanggung konsekuensi untuk menyeimbangkan keduanya ditambah dengan pekerjaan-pekerjaan wajib di luar keduanya.
Ada bagian untuk kuliah.
Ada porsi untuk organisasi.
Manajemen diri dan penentuan prioritas yang baik menjadi kunci agar dapat dicapai titik ekuilibrium dalam menjalani semuanya.

Bagi mahasiswa yang enggan berorganisasi, silakan saja. Tak perlu mengatakan anti berorganisasi. Cukup mainkan peranmu dan berjayalah.

Bagi yang kuliah dan aktif di organisasi, silakan saja. Tapi jangan sampai menganggap buruk mereka yang tidak berorganisasi. Cukup mainkan peranmu dan berjayalah.

***

Lakukan dengan penuh kesadaran, kesabaran dan keikhlasan.
Memberi sebanyak-banyaknya tanpa memusingkan apa yang akan diterima.
Karena tidak ada balasan atas kebaikan selain kebaikan, percaya saja.

© Hanum Nasution

Share: