Kamis, 05 Maret 2020

Dia dan Niat Baiknya (1)

Beberapa bulan lalu, pas lagi gabut dan open QnA di Instagram story *ceileh QnA udah kayak seleb*, ada salah satu pertanyaan yang arahnya ke sini. Iya, ke arah judul post ini. Dan yea, yang nanya laki-laki, orang yang sama sekali tidak kuduga akan menanyakan hal ini.

“What kind of man do you want?”, katanya
Aku sempat bertanya-tanya arahnya ke mana. Tapi, melihat siapa yang bertanya dan tema yang paling mungkin adalah ke arah ini. Kujawablah semampunya dan secukupnya karena space untuk menjawab di story juga terbatas. Kalo kepo, ada kok di highlight yang pic-nya “:v”. Monggo mampir, link ada di  logo IG dekat header sebelah kanan, ehe.

Tapi, bukan si penanya ini inti ceritanya, karena sampai saat ini aku berasumsi bahwa dia nanya sekedar iseng, atau dia bertanya untuk temannya, atau dia memang sedang riset ke perempuan secara random/umum. Kaitan QnA itu dengan post ini adalah di jawaban itu aku sempat mengaitkan jawabanku dengan beberapa ‘pengalaman’ yang pernah kualami terkait tema ini.

Tentang pertanyaan itu, aku sempat menetapkan hanya shalat lima waktu di masjid dan bacaan Al-Qur’an-nya baik dan benar atau sedang dalam proses belajar, serta mau terus belajar. Dan pertama kali benar-benar dihadapkan dengan dagdigdugserr diajak ta’aruf oleh seseorang itu pas kelas XI atau kelas XII (lupa, ckck). Iya, intinya pas SMA, dan waktu itu sudah (setua itu baru) tergerak untuk hijrah. Gaes, ini bukan ta’aruf abal-abal ala mas-mas tukang gombal, tapi benar-benar ta’aruf dengan niatan serius.

Layaknya remaja pada umumnya, meski sudah memutuskan untuk mendedikasikan diri untuk agama dan menjauhi segala apapun yang bisa menghasilkan dosa, sunnatullah anak muda tentang cinta tentu tak luput turut kurasa. Interaksi dengan teman-teman sekajian, terutama di sekolah, cukup mengganggu hati yang belum mampu kubentengi. Pertemuan demi pertemuan, kegiatan demi kegiatan, ditambah bumbu-bumbu godaan teman-teman, akhirnya, baper dengan salah seorang teman tak terhindarkan.

Aku cukup terganggu dengan perasaan semacam itu, plus saat itu telah dikabarkan tentang pentingnya menjaga hati dan adanya bentuk maksiat dengan hati. Maka, sore Selasa sekitar tahun 2014 itu, aku menangis –sebenarnya untuk yang ke sekian kalinya, tapi sore itu aku ingat, aku agak lebih merengek—mengadu pada Allah melalui do’a-do’a, minta dijagakan hati, minta ini itu, hingga melafalkan do’a rabbi laa taj’alnii fardan, dan…

Malam harinya, di salah satu masjid yang kajiannya rutin kuhadiri setiap malam Rabu, seorang Ibu yang sudah cukup akrab denganku memanggil. Sedikit basa-basi, sampai akhirnya menyampaikan niat baik seseorang yang ingin berkenalan lebih jauh, ea, ta’aruf.

Jleb.
Baru sorenya aku menangis dan mengadu, malamnya seakan dijawab. Maka, di hadapan Ibu yang namanya sama denganku itu aku kaku, diam dan sejenak membisu *lebae. Aku minta waktu, lalu pulang, dan menangis lagi. Kebingungan, ketakutan. Haha, the bocah Hanum.

Takut, karena pagi Selasa itu juga aku baruuuu mendengar ceramah tentang menolak laki-laki shalih. Mak, yang ingin ta’aruf denganku ini shalatnya lima waktu di masjid, kerjanya di salah satu kantor yang berdasar pada syari’ah, rutin menghadiri majelis-majelis ilmu syar’i, meski aku tak sempat tahu apakah dia mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil atau tidak, tapi secara umum orang ini memenuhi kriteria kind of man I want. Gimana dong!? 

Hingga sekian hari setelahnya kuberanikan diri untuk cerita ke mama. Respon mama tentulah bingung, haha. Mungkin kalau kuterjemahkan ekspresi mama, beliau membatin bilang lah, ini bocah kok sudah ngomongin nikah. Meski yang keluar dari lisannya intinya adalah nanti dulu, masih sekolah.

Ayah? Ah, tidak. Aku tak bernyali. Dulu, itu rahasia aku dan mama saja.

Tapi, aku masih dihantui oleh ketakutan tentang akibat menolak laki-laki shalih—boleh browsing, niscaya ketemulah akibat yang kumaksud. Lalu, kuputuskan untuk cerita dengan murabbi dan minta masukan, sekaligus mengutarakan ketakutanku tadi lewat SMS. Beliau membuat janji untuk ngobrol di mushalla sekolah besok harinya, yang kemudian inti dari obrolan itu sama seperti apa yang mama bilang, ditambah beberapa nasihat yang menenangkan dan menjinakkan  ketakutanku tadi.

Menikah tidak sesederhana itu, banyak hal yang harus dipertimbangkan dan dipersiapkan matang-matang. Dan aku, kata beliau, belum siap. Menolak atas dasar pertimbangan yang banyak itu tak masalah. Juga, shalih tidak hanya tentang ibadah. Banyak aspek yang sangat perlu diperhatikan untuk menentukan pasangan hidup. Kalau memang jodoh, pasti ada jalan-Nya. Tapi, untuk sekarang, bersiaplah dulu matang-matang.

Setelahnya, aku lebih tenang, dan pelan-pelan kembali membenahi kriteria kind of man I want dan tentu saja mempersiapkan diri sendiri :) dan sekarang, sekitar 6 tahun setelahnya lah ya, ternyata cukup banyak yang berubah dari kriteria sederhana itu, haha. Proses gaes.

Btw, si dia yang pertama ini sekarang sudah menikah. Entah anaknya sudah berapa, hehe. Artinya memang bukan jodoh dengan saya.

Lalu..
To be continued.

Share: