Beberapa bulan lalu, pas lagi gabut dan open QnA di Instagram
story *ceileh QnA udah kayak seleb*, ada salah satu pertanyaan yang arahnya ke
sini. Iya, ke arah judul post ini. Dan yea, yang nanya laki-laki, orang yang
sama sekali tidak kuduga akan menanyakan hal ini.
“What kind of man do you want?”, katanya
Aku sempat bertanya-tanya arahnya ke mana.
Tapi, melihat siapa yang bertanya dan tema yang paling mungkin adalah ke arah ini.
Kujawablah semampunya dan secukupnya karena space untuk menjawab di story juga
terbatas. Kalo kepo, ada kok di highlight yang pic-nya “:v”. Monggo mampir, link ada di logo IG dekat header sebelah kanan, ehe.
Tapi, bukan si penanya ini inti ceritanya,
karena sampai saat ini aku berasumsi bahwa dia nanya sekedar iseng, atau dia
bertanya untuk temannya, atau dia memang sedang riset ke perempuan secara random/umum.
Kaitan QnA itu dengan post ini adalah di jawaban itu aku sempat mengaitkan jawabanku
dengan beberapa ‘pengalaman’ yang pernah kualami terkait tema ini.
Tentang pertanyaan itu, aku sempat menetapkan hanya
shalat lima waktu di masjid dan bacaan Al-Qur’an-nya baik dan benar atau sedang
dalam proses belajar, serta mau terus belajar. Dan pertama kali benar-benar
dihadapkan dengan dagdigdugserr diajak ta’aruf oleh seseorang itu pas kelas XI atau
kelas XII (lupa, ckck). Iya, intinya pas SMA, dan waktu itu sudah (setua itu baru) tergerak untuk hijrah. Gaes, ini bukan ta’aruf abal-abal ala mas-mas tukang gombal, tapi
benar-benar ta’aruf dengan niatan serius.
Layaknya remaja pada umumnya, meski sudah
memutuskan untuk mendedikasikan diri untuk agama dan menjauhi segala apapun
yang bisa menghasilkan dosa, sunnatullah anak muda tentang cinta tentu tak
luput turut kurasa. Interaksi dengan teman-teman sekajian, terutama di sekolah,
cukup mengganggu hati yang belum mampu kubentengi. Pertemuan demi pertemuan,
kegiatan demi kegiatan, ditambah bumbu-bumbu godaan teman-teman, akhirnya, baper
dengan salah seorang teman tak terhindarkan.
Aku cukup terganggu dengan perasaan semacam itu,
plus saat itu telah dikabarkan tentang pentingnya menjaga hati dan adanya
bentuk maksiat dengan hati. Maka, sore Selasa sekitar tahun 2014 itu, aku
menangis –sebenarnya untuk yang ke sekian kalinya, tapi sore itu aku ingat, aku agak lebih merengek—mengadu
pada Allah melalui do’a-do’a, minta dijagakan hati, minta ini itu, hingga
melafalkan do’a rabbi laa taj’alnii fardan, dan…
Malam harinya, di salah satu masjid yang
kajiannya rutin kuhadiri setiap malam Rabu, seorang Ibu yang sudah cukup akrab
denganku memanggil. Sedikit basa-basi, sampai akhirnya menyampaikan niat baik
seseorang yang ingin berkenalan lebih jauh, ea, ta’aruf.
Jleb.
Baru sorenya aku menangis dan mengadu, malamnya
seakan dijawab. Maka, di hadapan Ibu yang namanya sama denganku itu aku kaku,
diam dan sejenak membisu *lebae. Aku minta waktu, lalu pulang, dan menangis
lagi. Kebingungan, ketakutan. Haha, the bocah Hanum.
Takut, karena pagi Selasa itu juga aku baruuuu
mendengar ceramah tentang menolak laki-laki shalih. Mak, yang ingin ta’aruf
denganku ini shalatnya lima waktu di masjid, kerjanya di salah satu kantor yang
berdasar pada syari’ah, rutin menghadiri majelis-majelis ilmu syar’i, meski aku
tak sempat tahu apakah dia mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil atau tidak,
tapi secara umum orang ini memenuhi kriteria kind of man I want. Gimana dong!?
Hingga sekian hari setelahnya kuberanikan diri untuk
cerita ke mama. Respon mama tentulah bingung, haha. Mungkin kalau kuterjemahkan
ekspresi mama, beliau membatin bilang lah, ini bocah kok sudah ngomongin
nikah. Meski yang keluar dari lisannya intinya adalah nanti dulu, masih sekolah.
Ayah? Ah, tidak. Aku tak bernyali. Dulu, itu rahasia aku dan mama saja.
Ayah? Ah, tidak. Aku tak bernyali. Dulu, itu rahasia aku dan mama saja.
Tapi, aku masih dihantui oleh ketakutan tentang
akibat menolak laki-laki shalih—boleh browsing, niscaya ketemulah akibat yang
kumaksud. Lalu, kuputuskan untuk cerita dengan murabbi dan minta
masukan, sekaligus mengutarakan ketakutanku tadi lewat SMS. Beliau membuat
janji untuk ngobrol di mushalla sekolah besok harinya, yang kemudian inti dari obrolan itu sama
seperti apa yang mama bilang, ditambah beberapa nasihat yang menenangkan dan
menjinakkan ketakutanku tadi.
Menikah tidak sesederhana itu, banyak hal yang
harus dipertimbangkan dan dipersiapkan matang-matang. Dan aku, kata beliau,
belum siap. Menolak atas dasar pertimbangan yang banyak itu tak masalah. Juga,
shalih tidak hanya tentang ibadah. Banyak aspek yang sangat perlu diperhatikan
untuk menentukan pasangan hidup. Kalau memang jodoh, pasti ada jalan-Nya. Tapi,
untuk sekarang, bersiaplah dulu matang-matang.
Setelahnya, aku lebih tenang, dan pelan-pelan kembali
membenahi kriteria kind of man I want dan tentu saja mempersiapkan diri
sendiri :) dan sekarang, sekitar 6 tahun setelahnya lah ya, ternyata cukup banyak yang berubah dari kriteria sederhana itu, haha. Proses gaes.
Btw, si dia yang pertama ini sekarang sudah menikah. Entah anaknya sudah berapa, hehe. Artinya memang bukan jodoh dengan saya.
Btw, si dia yang pertama ini sekarang sudah menikah. Entah anaknya sudah berapa, hehe. Artinya memang bukan jodoh dengan saya.
Lalu..
To be continued.