Kamis, 11 Agustus 2016

Bulan



Aku mengenalnya dari kakakku tercinta, kakak kandungku, kakak perempuan satu-satunya yang ku miliki saat ini dan selamanya, karena takkan mungkin lagi ibuku melahirkan kakak perempuanku yang kedua. Dia. Bulan. Sudah lama sekali sejak pertama kali aku mengenalnya. SD, tahun 2008, kalau tidak salah. Delapan tahun yang lalu.

Bulan. Dia lebih dari sekedar teman lama kakakku. Dia kakakku, sekalipun dia tidak memandangku sebagai adiknya. Aku paham betul, dia punya puluhan orang di sekitarnya yang mungkin akan lebih pantas dipandangnya sebagai adik sebab seringnya mereka berjumpa atau akrabnya mereka atau apapunlah itu daripada aku. Tetapi biarlah. Aku sudah cukup terlatih untuk menepukkan sebelah tangan, dalam banyak kasus.


Mengapa dia?
Karena dia mengesankan.
Tidak banyak yang dia lakukan. Benar-benar sederhana di mata manusia pada umumnya. Tetapi kesederhanaan itulah yang begiku istimewa. Huh.

Bulan. Dia melakukan hal-hal kecil untuk menunjukkan perhatian. Kadang memang terlihat klasik. Tetapi mengapakah hanya segelintir orang—termasuk Bulan—yang bersedia memberikan perhatian—terutama pada saat-saat yang sulit—sekalipun semuanya klasik? Karenanya aku tetap terkesan. Walaupun klasik.

By the way, cara yang digunakannya tidak klasik sungguhan. Hanya terkesan klasik. Kutekankan, hanya terkesan klasik. Artinya tidak benar-benar klasik. Karena aku paham kesibukannya. Dia punya skala prioritas. Dia sudah menyusunnya. Rapi sekali... sepertinya.. sehingga perhatian yang perlu untuk dia utarakan secara dadakan, terutarakan alakadarnya. Menyempatkan pengutaraan perhatian di sela-sela kesibukan. Buatku, itu mengesankan. Sekali lagi, mengsankan. Meskipun terkesan klasik. Tetapi bagiku dia tidak klasik. Hah?

Aku sakit. Bulan sibuk. Tetapi Bulan tetap menjengukku. Sekedar menjenguk, dengan sebungkus apel dalam kantongan kresek putih di genggamannya. Sebentar sekali. Menemuiku. Memperhatikan keadaanku. Menanyakan beberapa hal. Bercakap-cakap sedikit dan memberikan beberapa petuah dan guyonan. Ya, Bulan juga sangat pandai menghibur. Meski kadang terdengar renyah, dia tetap lucu bagiku. Lucu karena dia gagal melakukan sesuatu yang lucu.
Sebentar saja. Lalu dia mengucapkan semoga lekas sembuh kemudian berlalu. Tenggelam dalam kepadatan jadwalnya yang entah apa rinciannya.

Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Aku lupa kapan terakhir kali kami bercengkrama. Beberapa tahun yang lalu. Aku tidak bisa mengingat kapannya dengan tepat. Memang pernah ku lihat dia di dekat rumah. Jalan kaki dengan teman-temannya. Aku menyapa, dia balik menyapa dengan wajah riang khasnya. Aku ingat betul mimik itu.
Dan beberapa hari yang lalu, seperti yang ku kisahkan sebelumnya, saat aku sakit. Dia mendengar kabar itu dan datang sebentar. Sebentar sekali. Tetapi itu cukup berarti. Sangat berarti buatku. Benar-benar berarti mengingat kami yang tidak begitu dekat.
Rasanya.. dan sepertinya memang benar.. hanya dia yang tetap menunjukkan kepedulian sekalipun sudah lama tak bercengkrama. Ya, sudah kukatakan, terakhir kami bercengkrama adalah beberapa tahun yang lalu. Dia tahu aku sedang berada pada kebanggaan yang lumayan bisa dibanggakan. Dia mengapresiasi itu. Tetapi itu sungguh hal yang biasa, karena banyak orang yang melakukannya untukku. Tetapi dalam keterpurukan, seperti waktu itu, di saat aku begitu menjijikkan, dia tetap bersedia datang. Menunjukkan perhatian. Menyuntikkan semangat-semangat baru. Ah, dia..

Dalam tahun-tahun di mana kami tak pernah lagi bercengkrama, sesekali aku menghubunginya lewat telepon. Ah, tidak. Bukan telepon. Hanya media tulis elektronik. Oh, tidak. Dia yang lebih sering menghubungiku lebih dulu. Sekedar menanyakan kabar. Aku, kakakku, keluargaku. Kujawab seadanya, alakadarnya, kemudian kukembalikan pertanyaan itu padanya yang kemudian juga tentu saja dijawabnya, lalu lahirlah seulas guyonan. Guyonannya nyaris selalu membuatku tertawa. Minimal senyum. Senyum lebar penuh penghargaan—tentu saja karena guyonnya gagal lucu. Setelah itu obrolan kami berakhir. Simpel sekali. Klasik. Atau, ah apalah kau sebut itu terserahlah. Tetapi aku tetap takjub. Aku punya banyak kawan di masa lalu, bahkan puluhan di antara mereka pernah sangat akrab denganku. Tetapi di mana mereka? Ada. Mereka ada. Aku punya kontaknya. Otomatis mereka juga punya kontakku. Tetapi tak lagi pernah mereka menghubungiku di zaman ini, dalam era di mana pesan dapat dikirimkan dengan begitu mudah, pun menerimanya. Pun sebaliknya, aku sudah tidak pernah menghubungi mereka, di era yang sama;aku sama saja seperti mereka;aku tidak sama dengan Bulan. Jika berpapasan di jalan, tentu aku dan kawan-kawanku itu akan saling sapa. Tapi kosong isi. Hampa. Jika yang berpapasan di jalan itu adalah aku dengan Bulan, maka takkan mungkin kosong isi—atau setidaknya, belum pernah kosong isi. Ada sesuatu yang menyenangkan yang terjadi. Yah, pertemuan itulah. Hitungan detik yang indah.
Mungkin bagi Bulan itu biasa saja. Tapi bagiku.. ah.. indah sekali, kawan.

Tempo hari, dia kembali mengirimiku pesan. Benar-benar pesan yang mesti ku sampaikan pada seseorang. Lalu dia mulai melakukan sesuatu yang selalu ku kagumi darinya. Lagi. Simpel sekali. Dia mengirimiku pesan di jam-jam yang seharusnya semua orang dengan pengecualian tidur. Dan aku membalasnya saat itu juga. Dia sedikit.. hmm.. dia menegurku untuk segera tidur. Ya, itu saja. Simpel sekali. Tapi itu hal yang bagiku WOW untuk seorang yang tidak lagi akrab. Hmm. Sudahlah.

Intinya, yang ingin kusampaikan adalah tentang sesuatu yang aku kagumi dari Bulan. Bagiku dia identik dengan sesuatu yang sederhana, simpel, supel, and.. I love him. Dan tolonglah jangan salah paham. I love him as my brother. Although he wouldn’t does the same.

Aku ingin sepertimu, Bulan. Sikap yang kukagumi. Kepedulian yang tulus. Semoga Allah senantiasa menunjukkan jalan-Nya untukmu. Dan tentu saja untukku juga. Dan untuk semua orang yang aku cintai. Dan untuk semua orang yang mencintaiku. Aamiin.

Bulan, tetaplah memiliki sikap seperti itu. Aku suka.
Share: