Aku mengenalnya dari kakakku
tercinta, kakak kandungku, kakak perempuan satu-satunya yang ku miliki saat ini
dan selamanya, karena takkan mungkin lagi ibuku melahirkan kakak perempuanku
yang kedua. Dia. Bulan. Sudah lama sekali sejak pertama kali aku mengenalnya.
SD, tahun 2008, kalau tidak salah. Delapan tahun yang lalu.
Bulan. Dia lebih dari sekedar
teman lama kakakku. Dia kakakku, sekalipun dia tidak memandangku sebagai
adiknya. Aku paham betul, dia punya puluhan orang di sekitarnya yang mungkin akan
lebih pantas dipandangnya sebagai adik sebab seringnya mereka berjumpa atau
akrabnya mereka atau apapunlah itu daripada aku. Tetapi biarlah. Aku sudah
cukup terlatih untuk menepukkan sebelah tangan, dalam banyak kasus.
Mengapa dia?
Karena dia mengesankan.
Tidak banyak yang dia lakukan.
Benar-benar sederhana di mata manusia pada umumnya. Tetapi kesederhanaan itulah
yang begiku istimewa. Huh.
Bulan. Dia melakukan hal-hal
kecil untuk menunjukkan perhatian. Kadang memang terlihat klasik. Tetapi
mengapakah hanya segelintir orang—termasuk Bulan—yang bersedia memberikan
perhatian—terutama pada saat-saat yang sulit—sekalipun semuanya klasik?
Karenanya aku tetap terkesan. Walaupun klasik.
By the way, cara yang digunakannya tidak klasik sungguhan. Hanya
terkesan klasik. Kutekankan, hanya terkesan klasik. Artinya tidak benar-benar
klasik. Karena aku paham kesibukannya. Dia punya skala prioritas. Dia sudah
menyusunnya. Rapi sekali... sepertinya.. sehingga perhatian yang perlu untuk
dia utarakan secara dadakan, terutarakan alakadarnya. Menyempatkan pengutaraan
perhatian di sela-sela kesibukan. Buatku, itu mengesankan. Sekali lagi,
mengsankan. Meskipun terkesan klasik. Tetapi bagiku dia tidak klasik. Hah?
Aku sakit. Bulan sibuk. Tetapi
Bulan tetap menjengukku. Sekedar menjenguk, dengan sebungkus apel dalam
kantongan kresek putih di genggamannya. Sebentar sekali. Menemuiku.
Memperhatikan keadaanku. Menanyakan beberapa hal. Bercakap-cakap sedikit dan
memberikan beberapa petuah dan guyonan. Ya, Bulan juga sangat pandai menghibur.
Meski kadang terdengar renyah, dia
tetap lucu bagiku. Lucu karena dia gagal melakukan sesuatu yang lucu.
Sebentar saja. Lalu dia
mengucapkan semoga lekas sembuh
kemudian berlalu. Tenggelam dalam kepadatan jadwalnya yang entah apa
rinciannya.
Sudah lama sekali aku tidak
berjumpa dengannya. Aku lupa kapan terakhir kali kami bercengkrama. Beberapa
tahun yang lalu. Aku tidak bisa mengingat kapannya dengan tepat. Memang pernah
ku lihat dia di dekat rumah. Jalan kaki dengan teman-temannya. Aku menyapa, dia
balik menyapa dengan wajah riang khasnya. Aku ingat betul mimik itu.
Dan beberapa hari yang lalu,
seperti yang ku kisahkan sebelumnya, saat aku sakit. Dia mendengar kabar itu
dan datang sebentar. Sebentar sekali. Tetapi itu cukup berarti. Sangat berarti
buatku. Benar-benar berarti mengingat kami yang tidak begitu dekat.
Rasanya.. dan sepertinya memang
benar.. hanya dia yang tetap menunjukkan kepedulian sekalipun sudah lama tak
bercengkrama. Ya, sudah kukatakan, terakhir kami bercengkrama adalah beberapa
tahun yang lalu. Dia tahu aku sedang berada pada kebanggaan yang lumayan bisa
dibanggakan. Dia mengapresiasi itu. Tetapi itu sungguh hal yang biasa, karena
banyak orang yang melakukannya untukku. Tetapi dalam keterpurukan, seperti
waktu itu, di saat aku begitu menjijikkan, dia tetap bersedia datang.
Menunjukkan perhatian. Menyuntikkan semangat-semangat baru. Ah, dia..
Dalam tahun-tahun di mana kami
tak pernah lagi bercengkrama, sesekali aku menghubunginya lewat telepon. Ah,
tidak. Bukan telepon. Hanya media tulis elektronik. Oh, tidak. Dia yang lebih
sering menghubungiku lebih dulu. Sekedar menanyakan kabar. Aku, kakakku,
keluargaku. Kujawab seadanya, alakadarnya, kemudian kukembalikan pertanyaan itu
padanya yang kemudian juga tentu saja dijawabnya, lalu lahirlah seulas guyonan.
Guyonannya nyaris selalu membuatku tertawa. Minimal senyum. Senyum lebar
penuh penghargaan—tentu saja karena guyonnya gagal lucu. Setelah itu obrolan
kami berakhir. Simpel sekali. Klasik. Atau, ah apalah kau sebut itu
terserahlah. Tetapi aku tetap takjub. Aku punya banyak kawan di masa lalu,
bahkan puluhan di antara mereka pernah sangat akrab denganku. Tetapi di mana
mereka? Ada. Mereka ada. Aku punya kontaknya. Otomatis mereka juga punya
kontakku. Tetapi tak lagi pernah mereka menghubungiku di zaman ini, dalam era
di mana pesan dapat dikirimkan dengan begitu mudah, pun menerimanya. Pun
sebaliknya, aku sudah tidak pernah menghubungi mereka, di era yang sama;aku
sama saja seperti mereka;aku tidak sama dengan Bulan. Jika berpapasan di jalan,
tentu aku dan kawan-kawanku itu akan saling sapa. Tapi kosong isi. Hampa. Jika
yang berpapasan di jalan itu adalah aku dengan Bulan, maka takkan mungkin
kosong isi—atau setidaknya, belum pernah kosong isi. Ada sesuatu yang
menyenangkan yang terjadi. Yah, pertemuan itulah. Hitungan detik yang indah.
Mungkin bagi Bulan itu biasa
saja. Tapi bagiku.. ah.. indah sekali, kawan.
Tempo hari, dia kembali
mengirimiku pesan. Benar-benar pesan yang mesti ku sampaikan pada seseorang.
Lalu dia mulai melakukan sesuatu yang selalu ku kagumi darinya. Lagi. Simpel
sekali. Dia mengirimiku pesan di jam-jam yang seharusnya semua orang dengan
pengecualian tidur. Dan aku membalasnya saat itu juga. Dia sedikit.. hmm.. dia
menegurku untuk segera tidur. Ya, itu saja. Simpel sekali. Tapi itu hal yang
bagiku WOW untuk seorang yang tidak lagi akrab. Hmm. Sudahlah.
Intinya, yang ingin kusampaikan
adalah tentang sesuatu yang aku kagumi dari Bulan. Bagiku dia identik dengan
sesuatu yang sederhana, simpel, supel, and.. I love him. Dan tolonglah jangan
salah paham. I love him as my brother. Although he wouldn’t does the same.
Aku ingin sepertimu, Bulan. Sikap
yang kukagumi. Kepedulian yang tulus. Semoga Allah senantiasa menunjukkan
jalan-Nya untukmu. Dan tentu saja untukku juga. Dan untuk semua orang yang aku
cintai. Dan untuk semua orang yang mencintaiku. Aamiin.
Bulan, tetaplah memiliki sikap seperti
itu. Aku suka.