Dua tahun yang lalu, ketika di-upload-nya potret mereka.
Aku suka, meski belum tergerak untuk turut bersama.
Kemudian ia berlalu begitu saja.
Satu tahun setelahnya,
Kembali kulihat potret serupa dari orang yang berbeda, tentang mereka.
Aku suka, meski belum tergerak untuk turut bersama
Kemudian ia berlalu begitu saja
Beberapa bulan setelahnya,
Aku terusik oleh rutinitas yang itu-itu saja.
Bosan, tak terbiasa dengan keterasingan meski kerap bersendirian.
Futur, sekian kebahagiaan beserta sumbernya mulai luntur.
Aku memerlukan mereka.
Beberapa pekan setelahnya.
Iseng aku bertanya tentang mereka kepadanya.
Disambutnya tanyaku dengan sukacita, nampaknya.
Aku senang dengan senangnya dia.
Meski belum mantap hati untuk turut bersama.
Aku hanya ingin bertanya.
Beberapa hari setelahnya.
Dikabarkannya tentang langkah awal untukku bisa turut bersama.
Ada beberapa pilihan, dan yang terdekat adalah esok hari.
Terkejut, tetapi tak ada alasan kuat untukku mengelak.
Aku minta waktu.
Beberapa jam setelahnya.
Dihubunginya aku, ditawarkannya agar kumulai langkah itu esok hari.
Aku menimbang, bimbang, kemudian muncul kejenuhan lama berupa bayang-bayang.
Aku akan membangun lagi semangatku di sana.
Bosan itu akan kubunuh dengan keji, ditemani olehnya.
Baiklah, aku ikut.
Malam itu aku berkemas.
Esoknya, aku menyongsong pagi menunggu petang.
Dengan bismiLlah aku melangkah.
Semoga kuraih berkah.
Tiga malam tiga hari setelahnya.
Sebelum fajar menampakkan kemilau meganya.
Dengan langkah santai namun tak gontai.
Di tengah lilin-lilin itu aku berjalan.
Dan, ya.
Janji kurapalkan bersama tangis.
Haru sebab hatiku telah jatuh dan terikat.
Risau sebab janji itu terasa berat.
Ada risiko yang harus aku genggam erat.
Aku siap.
Tiga malam tiga hari.
Dibuatnya aku jatuh hati.
Hingga saat ini.
Meski risiko itu mulai berduri, melukai jemari.
Tetapi hatiku tetap pada simpulnya.
Terikat kuat bersama tekad.
Meski perihnya luka memaksaku renggangkan kepal tangan.
Aku ingin bertahan.
Dan tetap mendulang kebaikan di lahan basah ini.
Meski bukan petani.
Bibit unggul pun tak kupunyai.
Apa daya, aku telah jatuh hati.
Aku tetap ingin menyemai benih, meski dengan segala keterbatasan.
Semoga subur tunas yang aku tebarkan.
Terima kasih, kau membawaku ke sini, meski dengan sedikit paksaan.