Jumat, 29 September 2017

Lesson.



Pekan ini saya dibebani dengan amanah untuk mengkoordinir suatu acara bagian Pubdekdok. Ini pengalaman pertama bagi saya bersentuhan langsung dengan aplikasi design. Yha, dari dulu—especially pas awa-awal masuk JRS Club Banjarmasin dimana saya cukup dekat dengan desainer grafis—saya emang pengen bisa ngedesign sendiri. Hanya saja tak kunjung saya mulai.

Pertamakali liat aplikasi Photoshop, saya menganggap enteng, “Beh, aplikasi begini doang. Kecil!”. Saya pikir Photoshop akan semudah Paint, padahal waktu itu belum pernah mencoba langsung. Baru liat tampilannya. Dasar sombong. Astaghfirullah. Dan hari ini, guys. Ckck.

Ada beberapa item yang saya harus buat dengan deadline-nya masing-masing. Item pertama yang harus saya selesaikan adalah pamflet, untuk publikasi. Know what? Yaaassalaam, saya mencoba mengerjakan sendiri—tanpa tutor dan tutorial—dan panik sendiri. Akhirnya saya menyerah dan mulai berselancar mencari pencerahan. Google! Saya membaca beberapa tutorial yang saya perlukan. Barangkali ada lima jam lamanya saya berkutat dengan aplikasi ini dan berusaha menaklukkannya dengan senjata seadanya—google. Nihil. Sebagian besar tutorial yang saya temukan malah semakin membuat bingung. Ya,  karena hanya mengandalkan hotspot smartphone yang harus diirit, saya hanya membaca, tidak buka tutorial video. 

Aplikasi Photoshop yang saya gunakan masih CS3. Itu pun baru saya install setelah mendapat tugas ini. Saya yang boleh dibilang sangat buta dengan Photoshop ini bahkan kesulitan mencari tools yang disebutkan situs-situs tutorial yang saya temukan. Begitu angkuh, saya malah balik menyalahkan aplikasinya dan mengadu kepada sahabat—designer kami yang kemudian menawarkan diri untuk membimbing saya—bahwa aplikasinya payah, tools-nya tidak lengkap, dan seterusnya, dan seterusnya. Mendengar saya mengoceh demikian, sahabat saya yang seringkali lebih logis ini tentu tidak langsung menerima keluhan saya. Mana mungkin mentahan aplikasi yang sama menghasilkan installan-nya yang berbeda? Benar saja, tools-nya ada, lengkap. Saya yang payah.

Setelah beberapa kali mengoceh dan mendengarkan pengarahan dari sahabat sekaligus tutor saya, baru pamflet itu terselesaikan. Alhamdulillah. Item-item selanjutnya saya selesaikan dengan jauh lebih tenang dengan waktu yang sangat jauh lebih efisien.

Di samping itu, saya terpikir untuk menulis tutorial dengan jauh lebih jelas dan rinci. Mudah-mudahan dimudahkan oleh Yang Mahapemberi Kemudahan.

Dari peristiwa ini, saya kembali belajar. Bahwa, satu, jangan perhah meremehkan apapun/siapapun. Dua, tidak semua hal bisa dinilai hanya dengan melihat—bahkan sangat banyak. Terlihat mudah belum tentu benar-benar mudah, sebagaimana terlihat ceria belum tentu benar-benar bahagia, ehm.
Benar bahwa saya suka mengutak-atik benda-benda. Kalau saya ini lelaki, mungkin saya akan senang membongkar-pasang sepeda motor sendiri, memperbaiki barang-barang elektronik di rumah sendiri. Ya, saya merasa tertarik untuk itu, hanya saja budaya di sini tidak melazimkan perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.

Dulu, Blady—motor bebek yang menemani perjalanan saya sejak SMP kelas 1—pernah sakit dan perlu penanganan khusus setiap hujan deras. Air masuk ke salah satu tempat bahan bakarnya. Saya senang sekali ketika ayah mengajarkan bagaimana cara mengeluarkan air itu dari sana, saya harus membawa obeng setiap pergi bersama Blady, terutama saat musim hujan. Saya merasa hebat sekali bisa melakukannya. Ckck. Berikutnya saya beberapa kali minta diajarkan untuk mengencangkan dan memotong rantai. Sayang, sampai hari ini ayah tidak berkenan. Pergi ke bengkel, biayanya cuma dua ribu rupiah, sahut ayah. Jujur, saya sedih.

Namun demikian, meskipun saya sangat ingin bisa melakukannya dan saya melihat pekerjaan-pekerjaan itu nampaknya mudah, saya tidak mencobanya sendiri. Terlalu beresiko, pikir saya. Saya sadar bahwa saya tidak ada basic di sana. Ketika membayangkan untuk mencoba mengencangkan rantai sendiri, saya terbayang ban belakang Blady lepas di tengah jalan karena saya kurang mengencangkan mur. Aih, mengerikan. Seharusnya, hal serupa juga saya terapkan ketika menghadapi Photoshop. Bukan untuk tidak mencoba sendiri, karena dampak/resikonya sangat jauh lebih kecil bahkan secara fisik nyaris tak ada—hanya mungkin waktu yang terbuang sia-sia.  Sadar bahwa saya masih bodoh dalam hal itu dan tidak meremehkannya, begitulah saya seharusnya.
Astaghfirullah.

Demikianlah cerita saya. Semoga apa yang saya harapkan dikabulkan, dan apa yang saya bagikan dapat dimanfaatkan.

_______

Fastabiqul khairat.
Share:

Related Posts: